Beberapa minggu lalu kami menghadiri undangan house warming seorang teman yang pindah rumah baru. Kebetulan saat itu kakek Prema (bapak saya) dan seorang paman sedang berada berkunjung ke rumah kami di Bogor. Kedua kakek ini tinggal nun jauh di Sulawesi Tenggara, jadi kami memang jarang berkumpul bersama. Nah mumpung bapak disini, ya sekalian kami ajak juga ke rumah teman itu. Lagian sebagain besar teman yang akan ngumpul disana juga memang sudah kenal sama bapak.
Singkat cerita, sampailah kami di TKP. Bapak yang memang demen ngobrol berbaur dengan cepat bersama teman-teman yang sudah dianggap seperti anak sendiri oleh bapak. Kebetulan diantara teman-teman itu sebagian ada yang memang pernah main ke rumah Kendari, ada yang memang pernah bertemu dirumah kami di Bogor. Yang paling spesial, salah satu teman adalah keponakan dari sahabat bapak jaman di Kendari, yang mana sahabat dimaksud sekarang sudah pindah ke Bali. Dari sinilah cerita dimulai.
Jadi ya, bapak kemudian mulai heboh menelpon ke mbah (ibu saya) dan bercerita tentang pertemuannya dengan “anak-anak”. Kemudian bapak juga menelpon teman-temannya termasuk paman dari teman saya di Bali itu untuk sekedar mengabarkan bahwa beliau sedang bersama keponakan sang sahabat. Dari situ segala obrolan seru dan hebohpun tergelar. Bapak terlihat bahagia sekali, mengenang masa lalu bersama sahabatnya. Sekali-sekali tergelak. Kadang terdiam dan tampak berpikir. Intinya saling bercerita satu sama lain. Seru.
Awalnya saya berpikir, bapak lebay banget sih. Seluruh dunia harus tahu bapak ada dimana, dengan siapa, sedang berbuat apa #terkangenband hihi. Saya merasa bapak buang-buang waktu dan pulsa menelpon kesana kemari untuk bercerita hal yang sama berulang-ulang. Ngapain sih, pikir saya.
Lalu saya menatap wajah bapak. Binar bahagia terpancar jelas. Ada keharuan berpadu bangga disana. Ada senyum bertabur kenangan dalam garis wajahnya. Saya terdiam. Ah sepertinya saya salah. Saya keliru ketika berpikir bapak lebay. Saya tak bijak ketika menganggap bapak pamer. Saya bahkan berpikir, mungkin kelak jika saya panjang umur, seusia bapak dan berada disituasi seperti itu, sayapun akan melakukan hal yang sama
Jangankan bapak. Saya saja saat mudik ke kendari kemaren sibuk telp sana sini mencari tahu kabar kawan-kawan lama. Saat berkunjung ke satu kota juga sibuk menghubungi beberapa kawab di kota tersebut, minimal ngobrol atau kalau bisa malah kopdar. Lalu tak lupa foto bareng, upload di account social media untuk mengabarkan pada kawan lain. Lalu bersahut-sahutanlah komen disana.
Singkat kata : Pamer!
Bedanya cara kita pamer yang berbeda. Seangkatan bapak saya gak mainan social media, bersyukur ada telephone sebagai sarana komunikasi sehingga bisa bercengkerama berlama-lama dengan kawan lama, kalau HP belum semudah ini aksesnya, mungkin kisah itu malah akan tertulis dalam bentuk surat yang mana baru akan sampai kabarnya beberapa waktu kemudian atau kalau mau cepat pake telegram. Haha.
Demikianlah. Setiap kita butuh komunikasi dan sosialisasi. Semua orang senang merefresh kenangan. Banyak kisah di masa lalu yang jika dibuka kembali saat ini membuat senyum terkembang, tak jarang mengundang tawa terbahak. Tak ada yang salah dengan itu. Setiap generasi punya caranya. Setiap masa ada medianya. Kita sekarang rame bersosial media, entah anak-anak kita kelak dengan apa mereka berkomunikasi. Dulu kita mencatat kisah dalam buku diary, kini kita beralih ke dunia digital, mencatat kisah harian dalam blog. Intinya kita semua selalu ingin berkabar pada sahabat, kerabat dan dunia luar. Betapa dunia menjadi indah ketika kita dikelilingi orang-orang yang kita kenal, sayang dan cintai. Karena tak ada manusia yang bisa hidup sendiri.
Ah bapak…..
Maafkan anakmu yang sempat punya pikiran gak genah ini
Nikmati kenangan itu, Pak
Kami juga sama kok, hanya caranya saja yang berbeda
🙂
teorinya sih sederhana, silaturahmi menjalin komunikasi. Prakteknya ternyata sulit bagiku. Heran, menyempatkan waktu buat berkunjung aja susah sekali.
Nah itu dia mas. Kadang kita sulit sekali meluangkan waktu untuk sekedar berkabar pada kerabat. Kecuali memang ada perlu
Padahal mungkin sekali-sekali itu dibutuhkan untuk tetap menjaga hubungan
dulu, jaman belum ada hape janjian kalau telat sabar kali ya nunggunya…
Iya bener
Jaman dulu kita jauh lebih sabar klo janjian. Sekarang dikit2 telp, sms, wa dll. Masih ditambah icon kesel nungguin pula hihi
hahaha… iyaaa…. nunggunya di di deket telpon umum lagi… atau di kantor pos atau wartel… 🙂
Ih samaaaaaaaa
Berarti jaman dulu memang telpon umum, pos dan wartel itu tempat janjian semua orang ya
Tempat paling strategis tampaknya
Bagaimanapun juga, siapapun pasti ingin mencari sesuatu yg pernah membuat dia bahagia. Salah satunya adalah menghubungi kawan2 lama. Senang bisa membaca cerita tentang bapakmu yang bahagia bisa bertemu dengan seseorang yg jadi bagian dari hidupnya kala muda. Hal yg paling menyenangkan memang bertukar cerita dengan orang lain yg bisa menyegarkan iman.
Iya mbak
Tapi memang jujur awalnya yo aku ngerasa bapak lebay, nelp sana sini sekedar mengabarkan beliau ada dimana, kok yo rasanya seluruh dunia harus tau gitu lho
Tapi setelah dipikir2 kadang kita jiga melakukan hal yang sama ya, meski caranya berbeda 🙂