Jalur Pantai Utara atau lebih dikenal sebagai Pantura. Siapa yang tak pernah mendengar nama ini. Jalur yang biasanya mendadak kondang saat musim mudik lebaran tiba. Membentang dari ujung Barat pulau Jawa, Pelabuhan Merak di Provinsi Banten hingga ke ujung Timur yaitu pelabuhan Ketapang di Banyuwangi. Jalur yang terbentang sejauh 1316 km menyisir sepanjang pantai disebelah utara pulau Jawa.
Trip Jawa Bali yang kami lakukan medio Juli 2015 kemaren melintasi jalur ini. Mengenalkan kami pada banyak kota yang selama ini hanya dikenal lewat berita di media online maupun cetak. Menyadarkan kami betapa luasnya Indonesia yang mana ini belum ada seperempatnya. Kota dengan pesonanya masing-masing.
Kami juga berkesempatan mencicipi tol baru, Cikapali (Cikopo – kalijati – Palimanan) yang konon katanya menghemat waktu perjalanan hingga 12 jam. Disisi laim kami jadi kehilangan kesempatan melintasi kota-kota eksotik di Jawa Barat seperti Subang, Cirebon dan Indramayu. Tak apalah, lain waktu diagendakan kembali.
Karena via tol, lepas Cikapali kami langsung bertemu Brebes, kota yang terkenal sebagai penghasil bawang merah dan telur asin. Wajib nih beli buah tangan disini, telur asinnya recomended banget deh. Masirnya pas, legit dilidah dan gak bikin eneg. Bawang merahnya juga matang pas dan kering sehingga tak cepat busuk
Dari Brebes kita menuju kota yang dikenal dengan sate kambing mudanya yang endeus bener. Tegal. Kota dengan infrastruktur relatif bagus. Sentra industri terlihat banyak disini. Pengolahan kacang bogares yaitu kacang kulit yang disangrai dengan pasir serta beberapa industri pengolahan perikanan tampak dari papan penunjuk jalan. Oh ya untuk anda yang kelelahan, di Tegal ini juga ada rest area yang bagus. Fasilitas toiletnya ada 67 termasuk toilet untuk mandi. Lumayanlah buat bebersih badan yang penat dalam perjalanan jarak jauh.
Selanjutnya kita akan menemukan jalur hijau yang menawan. Kota Pemalang. Selain jembatan comalnya yang tahun lalu sempat jadi headline karena lagi ngambek, Pemalang juga adalah salah satu sentra penghasil beras. Tak heran jika sepanjang jalan kita akan menyaksikan panorama hijau royo-royo yang menyegarkan mata. Hamparan sawah hijau sejauh mata memandang. Sungguh adalah hadiah istimewa buat indera yang lelah.
Meninggalkan Pemalang kita menuju kota batik, Pekalongan. Sesuai julukannya tak heran jika sepanjang jalan kita akan menemukan jajaran penjual batik. Baik butik kece, toko pakaian hingga pedagang rumahan dan bahkan kaki lima yang turut mendulang rejeki di rest area seputar Pekalongan. Sayang kami tiba di kota ini bertepatan dengn jam berbuka puasa, jalanan agak macet karena banyak kendaraan yang parkir. Janji temu dengan seorang kawanpun akhirnya urung dilakukan karena waktu sudah semakin merayap menuju gelap.
Dan inilah yang kami hindari sebenarnya. Tak ingin malam di alas roban, kota Batang. Alas yang dikenal agak rawan dan angker ini biasanya dihindari oleh para pemudik untuk melintas di waktu malam. Selain rawan kejahatan, jalurnya juga banyak tanjakan serta berkelok tajam. Harus benar-benar melek nih lewat sini, bukan hanya supir tapi juga navigatornya. Kasian atuh pak Suami klo semua penumpangnya tidur π
Dan nyatanya kami harus melintas malam hari disini. Syukurnya lampu penerangan ada dibeberapa sudut jalan meskipun sebenarnya masih terhitung minim untuk ukuran jalur panjang berliku seperti ini. Ada dua jalur dialas roban ini, karena baru pertamakali lewat dan mengandalkan Google maps, kami melintasi jalur pertama yang ternyata memang agak horor. Saat balik kami melintas jalur yang baru, dimana banyak warung-warung penjaja makanan serta es kelapa muda berjajar di pinggir jalan. Ternyata kalau siang gak serem kok.
Keluar dari Batang, kita menuju kabupaten Kendal. Ou sudah gelap banget saat melintas disini, tak banyak yang bisa diceritakan. Dadah-dadah aja deh sama kendal, lain waktu semoga berkesempatan mengeksplore kota ini. Terus melaju, kami sampai di ibukota Jawa Tengah, Semarang. Melintas malam hari kami melewati pelabuhan Tanjung Emas yang tampak cantik diwaktu malam. Menarik. Karena sudah larut dan raga mulai protes minta istirahat kami fokus mencari penginapan. Syukurlah saat kembali dari Bali kami sempat mampir sebentar ke kota ini. Menuju kawasan Pecinan, menikmati Lumpia (atau loenpia?) gang lombok yang termasyur itu serta membeli beberapa buah tangan khas kota ini seperti wingko babat, bandeng presto, abon nabati dan aneka olahan lainnya.
Lalu ada kota kretek. Kudus. Sayangnya tak banyak waktu untuk mengeksplore kota ini. Hanya sempat numpang merebahkan diri semalam saja, paginya lanjut cap cus dengan kondisi yang lebih bugar. Padahal saya penasaran pengen lihat hamparan kebun tembakaunya hingga kota ini dinobatkan sebagai kota kretek. Kuliner terkenal dari kudus ini adalah jenang. Disepanjang jalan akan kita temui banyak iklan jenang. Saya sempat membeli beberapa kotak, saking penasaran sama iklannya. Rasanya legit dan bikin nagih. Ada aneka rasa seperti original, durian, kelapa, nangka dan lain-lain.
Dari kudus, ada Pati.Β Adalah kota dengan hamparan hijau sepanjang jalan. Luar biasa. Kabut tampak masih menggantung dipucuk-pucuk bukit. Dedaunan juga masih basah setelah menyesap embun malam. Jalan pagi hari ditimpali sawah menghijau adalah sebuah oase tersendiri buat jiwa. Indah sekali.
Setelah raga terpuaskan dengan kesegaran nan hijau, ada panorama baru yang tak kalah cantik. Laut. Pasir pantai. Jajaran kapal nelayan. Debur ombak mendendangkan lagu kehidupan. Gunung-gunung garam yang tercipta dari hasil kerja keras para petani. Kios-kios sepanjang jalan berdagang hasil laut juga berjajar rapi. Semuanya menandakan kita sudah sampai di Rembang. Eksotis sekali kota ini. Memandang gunung dan laut dalam satu kejapan, bersamaan. Wow. Tak henti saya berdecak kagum.
Makin jauh menikmati Rembang, saya kembali dikejutkan pada sebuah gerbang besar : Sentra Batik Lasem. Iya selain pekalongan, desa Lasem juga terkenal sebagai Sentra penghasil batik tulis Lasem yang terkenal itu. Batik dengan motif pesisir hasil perpaduan budaya tionghoa dan Jawa. Sayang kami tak sempat mampir, setidaknya udah tahu tempatnya, kapan-kapan wajib nih dikunjungi. Jadi ya saya baru tahu klo desa Lasem itu di Rembang, selama ini saya pikir adanya di jogja atau solo gitu deh. Ternyata selain alamnya yang indah Rembang juga menyimpan surga tersembunyi bagi para pencinta batik nusantara. Aduh! Kalau saja waktunya lebih lowong, ingin saya mampir dan menikmati khasanah budaya nusantara disana. Tapi memang gawat sih kalau mampir, bisa kalap saya padahal liburan saja baru dimulai. Haha. Dan saya sungguh jatuh cinta pada pesona kota ini.
Masih menyisir pantai utara kita akan bertemu kota Tuban. Ada apa saja disini? Sebagaimana kota pesisir lainnya, maka Tuban juga memiliki kuliner khas dari laut. Terasi Tuban terkenal sejak dulu, rasanya enak dan gurih, terbuat dari udang segar. Banyak tambak disepanjang jalan kota Tuban ini. Selain itu bagi anda penikmat Legen yaitu sejenis arak muda dengan kandungan alkohol rendah, sepanjang pantai Tuban banyak pedagang membuka lapak. Siap menyiram dahaga. Aneka olahan laut lainnya seperti ikan asin dan kerupuk juga ada.
Berlanjut ke Lamongan. Pasti yang pertama terlintas adalah soto lamongan dong ya. Dan percayalah, anda tak akan menemukan soto lamongan disini. Tapi memang bertebaran “warung soto” tanpa embel-embel lamongan tentu saja, karena kita memang berada di Lamongan. Sebagaimana di Padang tak ada rumah makan Padang, hanya “rumah makan” saja π
Familiar dengan semen gresik? Nah kota berikutnya setelah Lamongan adalah Gresik. Dan memang dikota ini banyak pabrik semen.Β Dari Gresik kami melewati jalan tol. Mempersingkat waktu tapi sekaligus menghilangkan kesempatan menikmati keindahan dalam kota khususnya Surabaya dan Sidoarjo. Keluar tol kami sudah dipenghujung Sidoarjo menuju Pasuruan. Demikian pula saat pulang. Kami sempat melewati kawasan wisata lumpur di Sidoarjo, tawaran untuk mampir dari suami saya tolak. Bukan apa-apa, rasanya tak tega saja membayangkan kita menonton lautan lumpur yang telah menenggelamkan peradaban didalamnya. Membayangkan sebuah kehidupan yang indah dan harmonis pernah tercipta disana. Ah, mungkin lain kali saja. Jika hati saya sudah lebih siap.
Dan kamipun sampai di kota Probolinggo. Sepertinya kota ini luas banget deh. Lama sekali waktu yang dibutuhkan untuk melintasi kota Probolinggo ini.Β Kota ini umumnya menjadi perlintasan utama menuju kawasan wisata Gunung Bromo, akan dibuat dalam postingam tersendiri nanti. Selain itu saya mengenal Probolinggo sebagai penghasil mangga, sayang saat melintas disana belum musim mangga jadi kami tak sempat menikmati ranumnya.
Melanjutkan perjalanan kita akan bertemu dengan jajaran pedagang Tape Singkong. Iya kita sudah sampai di Situbondo. Kota yang terkenal dengan Tape singkongnya yang manis. Seperti Bandung yang terkenal dengan peuyeumnya. Ada satu lagi pesona kota situbondo ini yaitu adanya kawasan PLTU Paiton yang terletak tepat dipantai dikaki bukit Paiton. Melintaslah disini pada malam hari. Jutaan cahaya yang berpendar dari PLTU ini sungguh adalaj pemandangan yang menakjubkan. Seperti melihat kapal pesiar raksasa yang sedang berlabuh. Anak saya, Prema menikmati sekali lewat disini. Sayapun tak kalah noraknya. Kagum pada buah karya anak bangsa ini. Tapi ya gitu memang enaknya dipandang langsung, tak enak dipotret karena yang muncul nantinya ya cuma titik-titik kecil cahaya saja.
Naik keatas ke bukit Paiton ada rest area sederhana berupa warung-warung pinggir jalan. Bertanyalah dulu berapa harga makanannya sebelum membeli agar tak terkejut belakangan. Jika tak mampir kesini, sekitar 1 km kemudian ada rest area Utama Raya, seperti yang saya ceritakan di postingan sebelum ini. Rest area terlengkap sepanjang perjalanan saya menyusur Pantura ini.
Dan akhirnya sampailah kami di Banyuwangi. Kota paling ujung timur pulau Jawa. Kota yang akan menjadi lintasan terakhir sebelum menyeberang ke Bali. Kami tiba disini malam hari, maka rasa dag dig dug seeeer….. Kembali melanda. Kami melintasi Kawasan Taman Nasional Baluran, dimana sepanjang jalan adalah hutan jati yang sangat luas. Agak horor rasanya melintas disini malam hari dan sepi. Untungnya bersama kami ada beberapa mobil lain juga yang melintas. Lumayan, ada temannya. Padahal di siang hari panoramanya indah lho, saat pulang kami sengaja memilih siang lewat disini agar bisa menikmati perjalanannya. Selain itu kami juga sempat mampir ke TN Baluran, akan diposting sendiri nantinya.
Fyuuuh….. Ini dia ujung perjalanan jalur Pantura. Pelabuhan Ketapang. Tepat jam 11.15 malam mobil kami masuk ke mulut Fery. Selamat tinggal pulau Jawa. Bali menanti kami.
Perjalanan menyusuri Pantura ini sungguh membuka mata saya. Betapa Indonesia begitu kaya. Sumber daya yang melimpah. Kearifan lokal yang memukau. Panorama surga yang mengundang decak kagum. Deretan tempat ibadah yang berdampingan dengan megah dan damai.Β Sepanjang perjalanan membuat saya berkali-kali melangitkan doa, semoga keindahan ini tetap terjaga. Semoga kerukunan tetap terjalin. Agar damai bumi Indonesia kita.
Happy holiday π
oleh2nya mau donk π
iya yah… jalan tol begitu jadi menghemat waktu tapi menghilangkan suasana sebelumnya ketika melewati jalur biasa
Nah oleh-oleh menanti dengan manis disini mas, hayuk main ke Bogor π
Iya. Persis di film Cars. Jalan Tol membuat semua orang terburu-buru. Semua melaju kencang tak saling menyapa atau menikmati harmoni kehidupan masyarakat sekitar.
Jalan biasa mungkin lebih padat, lambat dan agak crowded tapi banyak hal yang bisa kita lihat. Mulai dari budaya masyarakat setempat, bangunan2 cantik, wisata kuliner dan lain-lain
wah aku malah ga pernah lewat klo daerah pantura mbak, jadi gak apal
Lha aku yo baru pertama kali pas kemaren itu
Makanya agak-agak norak bergembira sampe bikin tulisan kayak gini. Padahal mah orang2 udah mudik bolak balik tiap tahun biasa aja gak selebay aku hihi
Pingback: Anti Mati Gaya Saat Liburan – Karena Hidup Adalah Perjalanan