Salah satu destinasi wisata yang kami kunjungi saat pulang ke Bali tempo hari adalah Desa Adat Penglipuran. Sejak dulu saya memendam penasaran karena kemasyuran desa ini. Tertarik saya pada konsep pembangunannya yang memang dirancang untuk wisata dan mengenalkan adat istiadat Bali yang mengandung filosofi tinggi.
Tak sulit untuk mencapai Desa ini. Berada dalam wilayah administratif kelurahan Kubu Kabupaten Bangli, berjarak sekitar 45 km dari kota Denpasar. Petunjuk jalan menuju kesini banyak tersedia sepanjang jalan. Jika ingin melihat arsitektur dan konsep tata ruang yang memegang teguh budaya serta kearifan lokal masyarakatnya, Penglipuranlah tempatnya. Penglipuran berasal dari kata “Pengeling Pura” yang artinya tempat suci untuk mengenang dan mengingat para leluhur.
Memasuki gerbang desa Penglipuran, udara sejuk langsung menerpa mengingat keasrian desa ini. Untuk menjaga kebersihan desa dari polusi, tak ada kendaraan yang boleh masuk. Parkir disediakan diluar desa, baik untuk motor maupun mobil.
Bagian depannya terdapat Pura Desa untuk kegiatan spiritual seluruh warga Desa. Lalu ada bale banjar untuk tempat berkumpul warga membicarakan hal-hal penting. Ada 2 bale kulkul disudut desa. Satu dalam lingkungan Pura untuk panggilan aktivitas keagamaan, satu lagi diluar sebagai penanda panggilan berkumpul dikegiatan desa.
Penataan desanya benar-benar terkonsep dengan baik. Memenuhi 3 aspek utama kehidupan masyarakat Bali yaitu Parahyangan (aspek spritual), Pawongan (manusia) dan Palemahan (lingkungan). Jajaran rumah yang tertata rapi sangat asri dipandang mata. Ada jalan setapak membelah desa yang terbentang dalam satu garis lurus ini. Jalan yang bertingkat sesuai dengan kontur topografi wilayahnya. Tak tampak sampah berserakan, dibeberapa tempat terlihat tempat sampah berupa anyaman bambu. Alami sekali.
Kebetulan saat kami berkunjung masih suasana hari raya Galungan sehingga di depan setiap rumah tampak lengkungan Penjor yang sangat indah.
Setiap rumah mendapat luas tanah yang sama. Gerbang depan yang berbentuk seragam, disebut “angkul-angkul” lengkap dengan papan nama kepala keluarga dan jumlah anggotanya yang terpasang disalah satu sisi gerbang. Melangkahkan kaki ke desa ini kita akan langsung disambut oleh keramahan warga desa setempat, “Mari pak/bu mampir, lihat-lihat ke dalam.” Demikian cara mereka menyapa pengunjung.
Berkunjunglah ke salah satu rumah. Anda akan disambut dengan aneka penganan khas penglipuran. Ada minuman cem-ceman dan temu khas penglipuran, kue klepon yang terbuat dari ubi. Ada juga donat yang empuk banget, berbahan dasar ubi. Lalu semakin ke dalam ada aneka kerajinan khas Bali. Saya sempat mencicip donat dan langsung suka. Enak deh.
Konsep tata ruang yang seragam bagi seluruh warga desa ini mengikuti pakem desa adat Bali. Setiap rumah memiliki beberapa bangunan terpisah yang berdiri sendiri sesuai fungsinya antara lain sanggah/merajan (tempat suci keluarga), Bale Utama (rumah tinggal) Bale adat (tempat melaksanakan upacara keagamaan), jineng (lumbung padi), paon (dapur). Jika memelihara hewan maka tempatnya jauh dipekarangan belakang atau dekat kebun.
Antara rumah yang satu dengan yang lainnya ada pintu penghubung dalam pekarangan agar menjalin keakraban antar warga dan tak perlu memutar keluar ke jalan utama jika ingin berkunjung ke tetangga. Tak terlihat perbedaan kaya miskin karena semua dibuat seragam.
Semua bangunan dengan konsep adat Bali dimaksudkan untuk menjaga harmoni dan keselarasan manusia dengan Tuhan, manusia dengan alam semesta dan manusi dengan manusia sesuai dengan ajaran Tri Hita Karana dalam agama Hindu. Tata letak dan arah bangunan juga diatur sedemikian rupa dengan apik.
Sanggah/merajan misalnya, ditempatkan pada posisi kaja kangin atau hulu rumah karena dijadikan tempat pemujaan kepada Tuhan. Pun umumnya dibangun pada lahan yang sedikit lebih tinggi dari bangunan lainnya. Kandang ternak diletakkan jauh dari lumbung padi dan dapur tujuannya agar penghuni rumah terhindar dari penyakit yang mungkin saja terbawa oleh ternak, begitu pula agar terhindar dari polusi udara dalam bau kotoran ternak.
Lalu bale adat dipisahkan dengan ruang tidur atau aktivitas keseharian maksudnya tentu saja agar anggota keluarga lebih fokus pada kegiatan dan pekerjaannya masing-masing.
Ada satu lagi pakem adat yang diterapkan di desa Penglipuran. Dalam awig-awig adat Bali, tidak menolak perilaku poligami. Namun ada perlakuan khusus bagi warga yang beristri lebih dari satu yaitu akan ditempatkan di lahan khusus yang diberi nama “Karang Memadu” biasanya terdapat di ujung desa. Di Penglipuran juga disediakan lahan seperti ini, yang mana sampai saat ini masih berupa lahan kosong pertanda tak ada warga desa yang poligami. Karang memadu ini secara psikologis merupakan sanksi moral tersendiri bagi pelaku poligami.
Nuansa tradisional Bali kental sekali terasa di desa ini. Bentuk atap dengan ukiran Bali diujung-ujungnya. Bangunan yang sebagian masih terbuat dari tanah liat yang dipadatkan lalu dikeringkan, disusun layaknya batu bata, sampai pada jajaran bunga kamboja sepanjang jalan yang menambah asri dan membuat kita betah berada disini. Ada pula terong yang unik, khas penglipuran, bentuknya lucu dan tonjolan dibeberapa tempat, sayangnya gak bisa dimakan.
Oh ya buat anda yang lapar setelah berjalan-jalan, beberapa rumah di Penglipuran juga menyediakan aneka sajian makanan, harganya tidak mahal dan terhitung murah untuk ukuran desa wisata. Kami sempat makan siang dengan menu tipat cantok, sejenis gado-gado dengan taburan kacang mentik khas Bali, harganya Rp 5000 saja per/porsi dan dijamin kenyang.
Sebagai penikmat wisata heritage, saya betag berlama-lama disini. Saya membayangkan malam-malam damai nan sunyi, jauh dari kebisingan suara kendaraan, ditemani nyanyian jangkrik dan terbangun oleh kokok ayam jantan dipagi hari lalu menghirup udara pagi tanpa bonus polusi. Sebagai tambahan informasi, sebenarnya secara konsep tata ruang, hampir semua bangunan dipedesaan di Bali memakai konsep yang sama. Pembagian ruang dan fungsi juga demikian. Gak usah jauh-jauh, di kampung saya dan kampung suami, bangunannya sama persis dengan desa penglipuran ini. Yang membedakan adalah bahwa desa ini sejak awal didesain untuk tujuan wisata sehingga memang “mengundang” wisatawan untuk masuk melihat-lihat ke dalam lingkungan rumahnya. Boleh memotret dan wawancara tanpa membuat si pemilik rumah terganggu privacynya. Satu lagi yang membuat unik ya karena keseragamannya itu. Semua bangunan memiliki konsep dan pola yang sama. Agak berbeda dengan daerah lainnya yang bercampur baur pola bangunannya, ada yang tradisional dan ada yang sudah modern. Apalagi kalau sudah di kota-kota seperti Denpasar atau kota-kota kabupaten lainnya, bangunan sudah modern wlopun masih menampilkan ciri khas Bali seperti ukiran atau bentuk atapnya. Bahkan saya sudah mengenal konsep pembagian tata ruang bangunan ini sejak dulu jaman masih di Kendari lho. Orang-orang Bali yang hidup diperantauan terutama yang di desa (pindah karena program transmigrasi) mengusung konsep tata ruang ini juga didaerah perantauannya. Jadi bukan hal aneh bila melihat kantong-kantong penduduk suku Bali yang berada di sulawesi, sumatera atau kalimantan, konsep tata ruang mendirikan bangunannya sama persis dengan di Bali yaitu ada pemisahan bangunan untuk rumah tinggal (kamar tidur), dapur, ruang pertemuan/kegiatan adat dan lumbung padi, konsep bale dadia, bale delod dan seterusnya.
Satu lagi yang unik, desa ini terbentang dalam satu garis lurus yang memang ditata sedemikian rupa sehigga view yang ditampilkan saat mengambil gambar menjadi sangat menarik.
Jujur bagian yang ini membuat saya angkat topi dan mengacungkan jempol pada pemrakarsa pengelolaan desa wisata ini. Selain mengenalkan nilai-nilai adat di Bali, mereka juga bahkan punya visi misi yang jelas untuk masa depan desa dan kesejahteraan masyarakatnya 🙂