Dini hari, 30 April 2014
Saya membuka mata dan mendapati suasana berbeda. Saya berada dalam sebuah ruang putih dengan selang infus dan kateter yang masih tersambung ke tubuh saya yang tergolek lemah ditempat tidur. Iya, saya baru saja menjalani operasi laparascopy untuk endometriosis yang berkembang ‘tak normal’ dalam rahim. Laparoscopy yang kedua setelah sebelumnya di tahun 2008 saya menjalaninya untuk pertama kali.
Saya berpaling melihat ke sisi kiri tempat tidur, di sofa panjang yang juga bisa difungsikan sebagai tempat tidur, terlihat ibu saya memeluk Prema, cucunya, anak saya yang lahir 2 tahun setelah laparoscopy pertama. Prema tampak nyaman dipelukan Mbahnya. Sementara suami saya, di sisi kanan tempat tidur, berbaring beralas jok tipis dari sofa tamu di depan kamar rawat. Saya dikelilingi cinta dari orang-orang terkasih.
Saya perhatikan wajah ibu yang terlelap. Gurat tuanya terlihat jelas. Wajah lelah namun selalu ingin tampak kuat. Wajah yang selalu memberi senyum dan menguatkan hati saya di saat lemah. Saya perhatikan rambutnya, uban di kepala ibu nampak mulai banyak. Meski beberapa kali disemir, tapi siapa bisa menolak perjalanan alami sang waktu, uban itu terus bertumbuh dan menjadi perlambang bertambahnya umur. Dan itu adalah pesona tersendiri buat usia tua.
Selagi saya asyik menikmati tiap lekuk wajahnya, ibu terjaga. Melihat saya bangun, ibu langsung menghampiri,
“Kenapa bangun? Mau minum? Mau ganti posisi? Masih sakit?” ibu langsung memberondong saya dengan banyak pertanyaan.
Saya hanya menggeleng lemah, menahan sakit di perut yang baru saja terkoyak.
“Ndak apa-apa. Ibu tidur aja lagi. Masih gelap.” jawab saya.
Ibu lalu memperbaiki posisi selimut saya. Memberi sedikit minum dengan sedotan, memeriksa kantung kateter saya juga mengecek kelancaran aliran infus yang menggantung. Memastikan semuanya baik-baik saja, lalu kembali tidur memeluk Prema.
Air mata saya mengalir perlahan. Usia saya sudah tak muda. 35 tahun saat itu. Dan saya masih begitu tergantung pada ibu?
Ini terbalik. Harusnya saya yang mengurus ibu. Harusnya saya yang mendampingi ibu. Harusnya saya yang membahagiakan ibu. Kenyataannya, saya terbaring dan mengandalkan ibu, bahkan untuk sekedar menarik selimut dan minum air. Ibu yang mengelap badan saya, ibu yang menguatkan hati saya. Ibu yang mengurus Prema, putra saya. Ibu yang sengaja datang jauh-jauh dari Kendari ke Bogor untuk menemani saya selama proses ini. Duuuuh……
Mata saya kembali menjelajahi sosok ibu yang terlelap. Kali ini saya melihat tangannya. Tangan yang dulu telaten menyisir rambut saya, memasak makanan untuk kami sekeluarga dan menyuapi saya, memakaikan baju dan tentu saja mengerjakan aneka pekerjaan rumah tangga. Tangan yang kekar tapi tetap lembut karena aliran kasih. Tangan itu yang dulu mengajarkan saya mencari kayu dihutan, buat kayu bakar ditungku dapur kami. Tangan itu juga yang dulu menimba air dirumah tetangga saat kekeringan melanda lalu mengangkatnya ke atas kepala untuk disunggi. Tangan yang sama adalah tangan yang menumbuk campuran semen dan pasir untuk membuat batako yang saat ini tersusun rapi menjadi tembok rumah sederhana kami di Kendari sana. Ada peluh ibu disetiap keping batako itu.
Ibu, adalah yang memberi contoh ketegaran dan kesederhanaan yang nyata. Adalah yang memberi teladan bahwa belajar itu tanpa batas. Ibu yang tak pernah menamatkan SR nya namun tetap bisa melangkah sejajar dengan ibu-ibu lain yang bersekolah tinggi. Ibu yang bisa mendampingi bapak dalam segala kondisi, baik di rumah, kantor maupun dalam organisasi kemasyarakatan. Ibu yang selalu bersinergi dengan bapak, memberi kebahagiaan bagi kami, anak-anaknya. Bapak saya PNS, yang kalau saya boleh katakan dengan sangat bangga adalah PNS yang sangat jujur dan polos. Gak neko-neko dan sederhana. Saking polosnya, kami benar-benar hanya mengandalkan gaji yang pas-pasan. Pas butuh pas abis #eh. Maka ibu adalah sosok yang melengkapi itu. Untuk mengisi waktu, bapak mengolah lahan kosong disebelah rumah, menanami dengan aneka buah dan sayur. Ibu akan menyulapnya menjadi masakan lezat. Pun demikian dengan lauk, yang kadang jumlahnya terbatas hingga kami harus berbagi, ibu punya banyak cara untuk menjadikannya cukup, mencampurnya dengan kelapa parut yang muda misalnya *sumpah ya, ayam atau ikan dimasak kuning dengan campuran kelapa itu enak banget* atau kala minyak tanah mahal, ibu punya banyak koleksi ranting atau dedaunan kering untuk menyulut api.
Kami, saya dan adik, tak pernah punya uang jajan selama sekolah. Wajib buat kami untuk sarapan sebelum berangkat. Agar tak perlu jajan. Kalau sekolahnya sampai sore (karena ada les dan bolak-balik itu butuh ongkos lebih, sehingga lebih baik menunggu) maka kami dibekali makan siang atau sekedar cemilan. Semua dimasak ibu. Soal cemilan ini, sebuah kenangan terlintas dibenak saya. Dulu, di Kendari sana, kolam renang adalah kemewahan. Hiburan tak terjangkau buat kami. Lalu ibu punya ide, meminta ijin berjualan aneka kue di area kolam, dengan begitu bisa membawa kami masuk kesana untuk berenang. Jadilah minggu pagi, kami berjalan kaki penuh semangat dari rumah menuju kolam renang, yang saat ini sudah beralih fungsi dan kepemilikan menjadi rumah pribadi Gubernur Sultra.
Semua kenangan berkelebat didepan saya. Bagai diorama yang berganti adegan demi adegan. Saya termangu. Apa yang sudah saya lakukan. Di usia senjanya saya masih menyusahkan. Beberapa bulan sebelum saya operasi, ibu sempat sakit. Dan dengan alasan jarak, saya tak pulang ke Kendari. Adik sayalah yang merawatnya. Nah sekarang, saya sakit, ibu datang. Menjadi ibu siaga. Saya melahirkan tempo hari, ibu juga datang. Bahkan sejak saya hamil yang mendapat hadiah placenta previa hingga harus bolak balik opname selama hamil, ibu juga ada disisi saya. Ibu selalu hadir, bukan hanya merawat saya tapi juga menjaga cucunya. Hiks.
Hari mulai terang, matahari menyusup masuk disela-sela gorden rumah sakit. Ibu kembali terbangun, “gimana rasanya, masih sakit?” sembari jarinya memegang perut saya.
Dan nyeeesss…. Rasanya adem. Tangan keriput itu kembali hadir menyentuh raga saya. Sudah berapa lama saya tak menyentuh tangan ibu. Saya memejamkan mata. Menikmati kebahagiaan ini. Bahagia karena diberi kebersamaan dalam kesehatan ibu.
Ah… Setelah setahun lebih, hari ini saya baru sanggup menuliskannya. Mewujudkan kenangan yang menyeruak pagi itu, disini, dirumah maya saya.
27 Desember nanti ibu ulang tahun. Jika tak ada halangan, kami sekeluarga akan berada di Kendari saat itu. Bukan untuk memberi kado mahal atau membuat perayaan mewah. Kami ingin menyaksikan senyum ibu dipertambahan umurnya, setelah bertahun-tahun sering terlewatkan karena jarak yang memisahkan.
Tak pernah cukup memang ribuan kata yang tertulis. Bahkan ini bukan tulisan pertama saya tentang ibu. Tapi memang selalu ada cerita yang belum terungkap. Selalu ada sepotong kenangan menyeruak dengan sejuta kisah. Karena cinta abadi yang tak terukur jarak dan waktu.
Terimakasih ibu, untuk setiap waktu yang kita habiskan bersama
Terimakasih ibu untuk setiap doa yang terucap untuk kami, anak-anakmu
Terimakasih ibu untuk setiap tetes peluh yang keluar dalam lelahmu saat membesarkan kami
Terimakasih ibu untuk setiap senyum, pelukan, mata yang penuh cinta dan membuat kami punya kisah manis untuk dikenang
Terimakasih ibu untuk setiap pengertian atas kenakalan dan kebandelan kami
Maafkan anakmu ini yang belum bisa membahagiakan ibu dan membalas semua kasih sayang yang berlimpah
Sehat terus ya bu
Panjang umur agar kita bisa berbagi kisah tentang bagaimana menjadi ibu, karena anakmu ini sekarang juga sudah jadi ibu, yang akan terus belajar dan meniru segala kebaikan dari didikan ibu selama ini.
Tuhan…..
Terimakasih untuk ibu yang luar biasa, bagi keluarga kami.
Selamat Hari Ibu
Selamat Ulang Tahun ibu
Peluk
Peluk
Peluk
—————–
Tulisan ini disertakan dalam GA Sejuta Kisah Ibu
Terharu Mbak baca tulisan ini :huhu. Saat kita sakit, mungkin Ibu adalah orang yang paling pertama tahu, sedangkan saat kita berbahagia mungkin orang tua adalah orang yang paling terakhir kita beritahu. Saya merasa ditegur juga nih baca tulisan ini Mbak, secara jarang telpon orang tua di kampung, padahal orang tua tidak pernah lupa sama saya. Terima kasih ya Mbak :)).
Terimakasih sudah membacanya, Bli
Eh ini bener khan ya aku harus manggil bli π
Iya banget. Saat kita sakit, ibu tempat mengadu. Ibu yang merawat. Ibu yang mendampingi
Sebaliknya saat ibu sakit, alasan jarak, waktu, uang seringkali tampil
Begitupun komunikasi. Saat berjauhan gini, rasanya kangeeeeen sekali ngobrol sama ibu. Dan jujur, aku sering banget menunda2 untuk menelpon dan akhirnya lupa hiks
Daaaaaan saya tak sabar pengen pulang……
Iya Mbak, makanya kita mesti sering pulang dan rajin menjalin komunikasi dengan orang tua ya. Yuk saling mengingatkan :)).
Emang orang tua dimana, Bli?
Yah klopun gak bisa sering-sering pulang, minimal tetap menjaga komunikasi. Rajin-rajimlah menelpon *self reminder*
Di kampung Mbak, Mataram :hehe.
Betul, saya juga jadi diingatkan. Terima kasih ya.
Lho klo Mataram deket dong. Bisa sering-seringlah nengok ibu.
Setidaknya lebih deket daripada Bogor – Kendari kayak aku, atau Bogor – Denpasar (mertua)
Ibuuuuk. Huhuu. Masih suka sumbu pendek gak jelas sama ibu huhuhuhu.
Begitulah darah muda #uhuk
Ayo dikurangi, kali aja sumbu panjang jadi bikin enteng jodoh #eh
Ibu…jasanya tidak akan pernah terbalaskan.
Ibu adalah orang yang akan selalu menerima kita apa adanya. Melihat ibunya Mbak Arni, beliau wanita yang tegar ya tapi juga ada kejenakaan di senyum dan posenya. Salam hormat buat Beliau π
Semua ibu pasti mengukir kisah dan kenangannya sendiri. Ibunya Ihwan pasti sama, tak kalah hebatnya. Karena semua dilakukan dengan penuh kasih untuk kebaikan kita, anak-anaknya
Oh klo soal pose, ibuku mah mau aja diajakin dari pose serius, santai sampe yang gokil-gokil hahaha
semoga ibunya selalu dikaruniai nikmat sehat yaa mbak π salam buat ibu
Terimakasih doanya mbak
Nanti saya sampaikan salamnya π
Pingback: Daftar Peserta GA Sejuta Kisah Ibu | rosimeilani.com
Berbahagialah yang masih punya Ibu, bahagiakan mereka. Bahagia juga sederhana, misal menelopon mereka. Berbicara dengan buah hati pasti menyenangkan bagi Ibu. Selamat hari Ibu.
Iya mas
Menulis postingan ini membuat saya berjanji pada diri sendiri akan sering menghubungi ibu. Bukan hanya untuk berkeluh kesah tapi juga berbagi kisah bahagia. Bukan hanya saat sakit, tapi juga selagi sehat
Terimakasih sudah mengingatkan ya mas π
Sometimes you just need your mother no matter how old you are…
Betuuuuul
Tak peduli setua apapun kita
Ibu adalah sosok untuk kembali dalam segala kondisi
Jadi, kapan mudik Muse?
Tahun depan kaka…
Wah bentar lagi dong
Jadi udah ngetrip kemana aja dirimu
Udah ketemu mbak rosi yang ngadain GA ini belum?
Klo belum kenalan gih, dia khan tinggalnya di sono juga
Hahaha belom ketemu… Mau dong ntar ketemu mbak rosi di worcester, kan lumayan tuh deket sama Birmie… Aku ga kemana2 mbak.. banyak tugas… huhuhu….
Eh sempetin deh ketemu mbak Rosi. Dia ini reporternya net tv lho. Sekaligus artes. Kali aja lo mau nebeng2 syuting gitu hahaha
wakakakaka siapppppp ntar aku hubungi klo mau maen kesono.. π
Abis ini gue eneg liat dirimu ikut nongol di CJ – net
awhhh… ikutan haru. Emang kisah tentang ibu tak pernah abis untuk dibahas.
Asik dong nih, sambil siap” mau ketemu ibuk.
Salam untuk beliau.
BTW, dr td pgn OOT π
Bapaknya, masih sodaraan sama Jacky Chan ya? hihihi… pisss…
Trus poto yg kiri bawah, itu sungkeman apa lagi latihan tari π
Makasih ya.. udah ngeramein GAnya.
Apdetan peserta lombanya di sindang : http://rosimeilani.com/2015/12/06/daftar-peserta-ga-sejuta-kisah-ibu/
Jiahahaha jacky chan kw 100 kali ya mbak
Ou, soal Foto. Percayalah itu cuma akting. Ibu saya memang asik banget kok diajak foto gokil-gokilan. Lumayan banyak kami punya koleksi pose yang gak umum hehe
Salamnya nanti saya sampaikan mbak, Jumat ini kami rencananga akan mudik π
Btw makasi untuk GA nya yang keren ini. Sukses membangkitkan kenangan saya setahun lalu.
Jangan ragu-ragu menjadikan saya salah satu pemenang ya hahahahaha
Kadang dalam hati gak mau nyusahin emak, tapi pas baru lahiran kemarin emang butuuuhhh kaliii…. Makanya sekarang gitu udah mulai bisa mandiri, anak aku bawa kemana-mana. Kekantor pun di bawa… π
Nah gitu deh Med
Akupun begitu. Pas lahiran emak dan mertuaku bolak balik kesini gantian jagain Prema. Makanya aku milih resign, salah satu pertimbangannya ya gitu. Kasian emak huhuhu
Klo kantornya kayak dirimy sih enak, boleh bawa anak. Lha aku piye, udahlah jauh jakarta-bogor, naik kereta desek2an. Kasian anakku.
Wis semoga ini yang terbaik untuk keluarga kami #curcol
Pasti yang terbaik buk… Buktinya prema tumbuh sehat dan pinter gituuuu…
Syukurnya lagi buk, suami kantornya dipindahin ke yang dekat dengan kantorku. Waktu hamil gede dulu bisa jalan kaki dari kantorku ke kantor suami. Sekarang bisa sama terus pergi dan pulangnya. Jadi dalam pikiranku, Tuhan nunjukin kalo aku harus terus kerja selagi enak gini… π
Ah enaknyaaaaaa
Rejeki keluargamu itu Med
Aku klo bisa kayak gitu jug pasti belum resign deh hehehe
Udah bisa apa aja nih Gilang?
udah miring-miring mau telungkup dan ngomel ngomel sendiri… π
Hahaha
Bagian ngomel-ngomel itu pasti nyontek emaknya deh
Terharu membacanya mba.
Teringat juga waktu aku operasi, mama selalu ada disisiku
Makasi udah baca yaaaaaa
Begitu deh kita ya, pas sakit selalu didampingi ibu. Semoga bisa berbuat sama buat ibu kita ya
Tapi kalau boleh minta, maunya supaya ibu-ibu kita sehat terus semuanya
Mbak arni
Terimakasih menulis ini
Jadi kontempelasi banget buat saya. Sy jg sering merantau tapi pas sakit atau hamil pulang ke rumah ngerepotin ibu π₯
*Peluk buat semua ibu*
Iya mbak
Ini juga ditulis buat ngingetin diri sendiri
Pas senang lupa ngabarin ibu
Pas sakit ibu tempat mengadu
Semoga kedepannya bisa lebih baik lagi, kalau bisa berbaginya yang bahagia2 aja sama ibu