April Mop atau dengan April Fools’ Day, diperingati setiap tanggal 1 April setiap tahun. Pada hari itu, orang dianggap boleh berbohong atau memberi lelucon kepada orang lain tanpa dianggap bersalah. Hari ini ditandai dengan tipu-menipu dan lelucon lainnya terhadap keluarga, sahabat, musuh dengan tujuan mempermalukan orang-orang yang mudah ditipu. Banyak versi tentang latar belakang hari lelucon ini, dari yang mendukung hingga menentangnya.
Apapun versinya, yang pasti karena dianggap hari lelucon, maka 10 tahun lalu ketika kami menyebarkan undangan pernikahan, banyak yang menganggap ini adalah April Mop. Tak sedikit yang meragukan keseriusan kami bahkan mengganggap kami bercanda. Meski akhirnya acara berlangsung lancar dan kini keluarga kami telah bertumbuh, dari dua menjadi tiga, dari muda menjadi tua, dari imut menjadi makin imut #eh
Beberapa waktu lalu, seorang kawan bertanya, “bagaimana rasanya mencapai angka 10 tahun?”
Hmm… gimana ya. Agak sulit menggambarkannya. Tentu saja banyak sekali yang sudah kami lalui dan banyak pula yang belum kami alami. Tak semulus pantat bayi memang *ish… ini kenapa perbandingannya kudu pantat bayi sih* Yang pasti selayaknya menempuh perjalanan, ada tanjakan dan turunan, ada tikungan kanan dan kiri, terkadang bertemu jalan berlubang, menerobos genangan bahkan tak jarang harus menyingkirkan beberapa halangan demi lancarnya perjalanan itu.
Pernikahan (mungkin khususnya di Indonesia) bukan hanya menyatukan dua pribadi yang berbeda. Ada keluarga besar dibelakang dua pribadi ini. Ada orang tua yang merawat buah hatinya dengan penuh cinta sejak bayi hingga dewasa, untuk kemudian dipercayakan pada seseorang yang baru dikenalnya beberapa tahun, beberapa bulan atau bahkan beberapa minggu. Ada hubungan dan tanggung jawab baru yang diemban oleh setiap pasangan yang ingin mengisi tangga pada rumahnya. Meski sampai sekarang saya belum nemu alasannya kenapa pasangan yang menikah disebut membangun rumah tangga, padahal khan gak semua rumah memiliki tangga ya :p
Masa-masa penyesuaian kami lalui dengan penuh perjuangan. Menyingkirkan ego, mengalah, mencoba mengerti, mempertahankan pendapat, memperebutkan sesuatu, merasa benar, dan sejenisnya. Tertawa, menangis, marah, ngambek semua sudah kami lalui. Trus, sekarang udah ndak lagi? Udah aman damai sentosa? Haha. Tidak kawan. Kadang masih kok. Tapi memang intensitasnya sudah jauh berkurang. Apalagi sejak ada Prema ditengah kami. Seiring waktu, kami juga berproses untuk saling memahami satu sama lain. Masih terus belajar, agar bisa jadi teladan buat Prema.
Ngomong-ngomong soal pernikahan, dulu saya pernah membaca sebuah kalimat yang kemudian sempat menjadi momok buat saya. Kurang lebih gini, “bagian terberat dari seorang calon istri adalah ketika memiliki mertua yang pandai memasak, sementara dia bahkan membedakan jahe dengan kencur saja tak bisa.”
Gara-gara baca kutipan itu, saya sempat berdoa agar kelak mendapat mertua yang tak pandai memasak atau minimal mendapat suami yang mau makan apa saja masakan istrinya. Saking parnonya saya, dulu selalu saja menghindar kalau diajak ketemu dengan ibunya pacar. Takut ditanya, “bisa masak apa aja?” atau “bantuin ibu masak ya,” atau “tolong masakin ibu menu A ya,” dan sejenisnya. Padahal saya ini, dibilang gak bisa masak juga ndaklah. Meski gak yang saklek banget, ibu saya itu bukan tipe yang memanjakan anak. Apalagi anak perempuan, wajib hukumnya mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Ditambah lagi, kami memang bukan keluarga kaya yang memiliki pembantu, semua dikerjakan sendiri. Jadi ya, saya pastinya bisa dong masak. Tapi entah kenapa saya tetap gak pede, hingga akhirnya setiapkali berdoa saya sering sekali berharap gak ketemu mertua yang jago masak.
Terkabulkah doa saya?
Sayangnya tidak. Bahkan dijawab dengan sangat mengejutkan. Memutuskan menerima pacar menjadi calon suami, tentunya berarti saya harus berkenalan dengan calon mertua. Karena tinggal beda kota, pertemuan pertama saya justru sehari sebelum kami bertunangan. Daaaan beliau ternyata sangat pandai memasak. Pemilik sebuah warung makan di salah satu sudut kota Denpasar yang sempat sangat berjaya hingga menghasilkan tiga sarjana hebat. Huaduh… jangan tanya bagaimana ciutnya nyali saya waktu itu. Mendadak gak pede booo. Untungnya saya tahu bahwa (calon) suami bukan tipe orang yang pilih-pilih makanan. Buat dia, rasa makanan itu hanya ada dua yaitu enak dan enak sekali *kecup ayah* #ups #dilarangsirik
Meski begitu, tetap saja adalah sebuah tantangan tersendiri buat saya untuk belajar memasak. Mulailah saya mengoleksi resep. Koleksi doang, eksekusi mah kapan tau dah haha. Pasca menikah, saat kami pulang ke Bali untuk sebuah acara, benar saja, terlontar juga pertanyaan-pertanyaan soal kemampuan saya memasak. Terutama ketika dengan pedenya suami bercerita bahwa tiap hari membawa bekal makan siang ke kantor. Wew itu pandangan tak percaya langsung mengarah ke saya plus pertanyaan dengan nada heran. Haha. Lucu klo ingat saat itu. Waktu itu sih saya senyam senyum keki aja, untungnya suami dengan sigap menjawab dan membela *kecups lagi*
Selesai urusan masak memasak, beralih ke urusan paling sensitif. Anak. Kondisi hormonal saya yang agak berbeda membuat kami harus bersabar untuk bisa menimang buah hati. Meski tak ada tuntutan dari pihak keluarga, tetap saja ada beban dihati setiap kali ada pembahasan kehamilan Lagi-lagi, suami selalu siap sedia mendampingi dan membesarkan hati saya saat galau. Bahkan tak penah mengeluh dengan kondisi saya yang bolak balik harus “kencan” dengan dokter kandungan *kecup ketiga kalinya*
Ahhh… kalau urusan mengenang begini, bakalan panjang deh nulisnya. Khan katanya wanita memang ahli sejarah, semua aja bisa dikenang dan ditulis detail. Maaf ya kalau ceritanya bikin teman-teman ngantuk hehe
Intinya sih saya mau bilang, dalam 10 tahun perjalanan ini banyak pelajaran hidup yang kami dapatkan. Kehadiran Prema juga menjadikan kami memasuki tahapan sekolah dijenjang yang baru yaitu menjadi orang tua. Sekolah kehidupan yang tak ada habisnya dan harus siap terus dijalankan selamanya dengan kebersamaan hingga tahun-tahun berikutnya.
Terimakasih Ayah, untuk kesabaran, cinta, perhatian, pengertian dan semua kebahagiaan yang kita lalui selama satu dekade ini. Semoga kita masih dibei kesempatan bertemu april mop-april mop lainnya ditahun mendatang dalam kebersamaan.
Terimakasih Prema, untuk kehadiranmu selama 6 tahun terakhir sebagai pelengkap kebahagiaan Ayah dan Ibu. Pembawa pelangi dan bintang terang ditengah keluarga kita. Semoga Ayah dan Ibu diberi kemampuan dan kesabaran untuk menjadi teladan terbaik bagimu.
Pada akhirnya, keluarga adalah tempat kita semua pulang. Selebar apapun kepakan sayapmu, sejauh apapun langkah kakimu, keluarga selalu siap menerima dengan pelukan hangat dan penuh cinta. Semoga kami bisa memelihara kehangatan ini agar tetap nyaman untuk semua.
Karena April Mop tak selamanya lelucon
Sebuah kisah baru atas nama cinta tertoreh 10 tahun lalu
Dan perjalanan kita masih panjang
Udiantara – Sukartini
010406 – 010416
Happy anniversary, Mbak Arni 🙂
Terimakasih banyak, Pak Ahmad 🙂
Tulisan yang sangat romantis. Aku sama kok kayak Bli Gede, hanya kenal 2 tipe makanan. Aku bisa (((bisa))) masak juga. Buat calon istri, tenang, gak bisa masak nggak apa-apa, asal bisa bikin suami bahagia eaa.
Langgeng terus ya mbak Arni amiiin
Jiahahaha ternyata ada kembarannya urusan perut yak. Asek bener punya calon suami jago masak nih, udaaaah buruan jadiin #eh
Makasi ya Yayan 🙂
Semoga senantiasa kekal bahagia sampai ke tua 🙂
Makasi anaz cantik
uhuyyyyyyyy…..
Ihiiiiiiiy
Wah ternyata udah satu dekade… Selamat yah bu Arni.. Semoga ibu dan sekeluarga diberikan kebahagiaan dan kesentosaan selalu..
Makasi ya Muse
Jadi kapan nyusul? #eh
Preeeeettt
Xixixixxi
Mbaaa…. selamat merayakan 10 tahun pernikahan ya…. semoga langgeng sampe tua, sampe akhir hayat yaa… 🙂
Makasi ya cantik
sama-samaaa….
Selamat. Semoga langgeng terus selamanya.
Terimakasih ya 🙂
ealah disangka ngerjain ya mbak karena mitos april mop, selamat ya mbak atas ulang tahun pernikahannya, semoga langgeng terus ever after
Hihi iya mbak
Pas bagi undangan, pada gak percaya
Btw makasi yaaaaa
wanita memang ahli sejarah” hihi makanya di sekolah kita mengenal herstory, bukan history,
Wuahahaha bener tuh herstory ya
Tapi karena itu jadinya saling melengkapi to mas. Kalau dua2nya lupa-an bisa gawat jadinya :p
Hihihi… sama banget ama saya, untuk makanan, saya cuma tau 2 rasa itu 😀
Btw, Happy anniversary ya mbak.. Semoga langgeng dan bahagia selamanya.
Hahaha paling asik memang kalau makan apa aja masuk
Pas bepergian gak rewel soal makanan
Btw makasi doanya ya mbak Dee 🙂
Mbak Arni, gak jadi numpang foto di pelaminan? hehe
nah itu dia, ternyata resepsinya bertema anak muda banget
gak ada pelaminannya dong, jadi si pengantin bebas jalan sana sini ngobrol dan foto-fotoan sama tamu hehehe
wah selamat ya mbak